Thursday, November 6, 2014

SUV

Setiap kali saya dalam perjalanan pulang kerja dari kantor,di dalam bis, saya merenung dan bermimpi untuk saya bisa meluangkan waktu untuk hobi. Profesi yang paling asyik menurut saya adalah Sutradara filem, alasan utamanya dia menggunakan kreativitas dan nalurinya untuk menghasikan sesuatu.

Betapa enaknya mereka yang bisa kerja 5 days a week, 9 to 5 dan punya usaha sampingan. TIdak seprti saya yag terjebak didimensi ini, berangkat pagi pulang malam. OMG, how long I can stand it?

Bahkan saya membandingkan betapa lebih enak profesi tukang ojek, walaupun saya sering konflik dengan tukang ojek, karena dia selalu pasang tarif diatas asumsi kita. Dia bekerja semaunya, tidak ada atasan yang mengatur, tidak ada paksaan, take it or leave it.

Sudah 4 bulan saya tidak menyentuh kamera DLSR, mgkn lensanya sudah bulukan berjamur, mgkn saya sudah lupa menjepret dan menghasilkan suatu foto yang sekedar tajam. Ya tidak ada waktu lagi, semua 5 hari habis untuk kerja dan 2 hari yang lain untuk mangalap gogo.

Mungkin saya suatu hari akan punya SUV sekelas Honda-CRV, Mitsubishi-Outlander atau Chevrolet Captiva, atau BMW-X5, dan banyak lagi SUV2 lainnya, soalnya hampir semua merk mobil mengeluarkan jenis mobil ini. Tapi yang jelas sekarang saya masih mengnginkan kemerdekaan saya mengelola waktu sendiri. Lagi-lag SUV mewah itu mengingatkan saya bahwa saya masih ada di dalam bis ini.

Detail......

Tuesday, February 5, 2013

Resensi Film: Tano Parsirangan (Filem Berbahasa Batak Full)

Ketika makan mie goreng di salah satu Lapo di Jl. Bina Marga, Ceger, Jakarta Timur, secara tidak sengaja saya melihat brosur besar iklan promosi yang tertempel di dinding lapo tersebut. "Tano Parsirangan", Film Berbahasa Batak Toba dan Teks Bahasa Indonesia. Saya langsung tertarik dengan filem ini, formatnya VCD Widescreen pal Video. Filem ini terdiri dari dua episode, Episode 1 dan Episode 2. Dijual yang punya lapo Rp 20.000; per keping.






Saya jarang beli DVD atau VCD di pasaran, tapi untuk yang satu ini, tanpa pikir panjang saya langsung beli 2 episode sekaligus, jarang-jarang ada filem berBahasa Batak di pasaran. Penasaran seperti apa ceritanya dan bagaimana dialog-nya, Bahasa Batak seperti apa yang digunakan, apakah Bahasa Batak Asli atau Bahasa Batak marpasir-pasir.

Soalnya di jaman serba instant ini sangat banyak kosa kata dalam kehidupan sehari-hari yang belum bisa diterjemahkan ke Bahasa Batak Toba.

Filem ini bercerita tentang dinamika sehari-hari dalam kehidupan Halak Hita, dimana ada sebidang Tanah Warisan yang diwariskan natua-tuanya kepada dua bersaudara, Amani Uli dan Amani Sudung . Natua-tua mereka memberikan amanat bahwa tanah warisan itu tidak bisa dibagi apalagi dijual kepada orang lain, namun diatas tanah warisan ini akan dibangun Jabu Parsaktian (Rumah Tinggal Bersama).
Karena keadaan ekonomi, Amani Sudung meminta tanah warisan tersebut dibagi dan berniat menjual bagiannya. Dan karena ketidakadaan biaya ekonomi, maka kedua anaknya Sudung dan Sinta tidak bisa melanjutkan sekolah. Sudung ingin pergi merantau pergi dari kampung ini, dia tidak terlalu bergairah untuk melanjut kuliah, karena dia sadar keadaan ekonomi keluarganya tidak akan sanggup membiayai perkuliahannya dan pola hidup Amongnya yang tidak jelas. Sinta juga tidak jauh berbeda, dia merasa tidak ada kehidupan dirumah orangtuanya, dia ingin pergi dari kampung ini.

"Boan ma ahu tu Medan, Kak",katanya suatu ketika kepada Uli yang datang mengunjunginya, beberapa hari setelah ayahnya menampar wajahnya karena pasal yang tidak jelas.

Disini terjadi konflik, bahwa Amani Uli masih memegang teguh amanat Natua-tuanya bahwa tanah itu tidak boleh dijual, maka Amani Sudung berusaha dengan segala cara agar tanah tersebut bisa dijual.
Amani Sudung adalah duda yang ditinggal mati oleh Nai Sudung, yang pola hidupnya tidak teratur, tipikal temperamental, pemarah, ringan tangan kepada anak-anaknya, tidak punya pekerjaan yang jelas dan sepanjang hari hanya nongkrong di kedai tuak dan suka mabuk pun mengatur siasat untuk menggelapkan tanda tangan/persetujuan Amani Uli sebagai salah satu ahli waris. 


Tanpa disangka, Amani Uli tewas setelah ditepuk pakai kayu besar saat meninjau tanah warisan tersebut.
Polisi/intel masuk ke desa itu untuk melakukan investigasi pembunuhan Amani Uli, data-data dianalisa, orang-orang yang bersinggungan dengan korban dimintai keterangan, dan suatu hari satu barang bukti yang sangat penting untuk menyingkap kasus pembunuhan inipun ditemukan oleh Pudan beberapa jam setelah kejadian, yaitu sebuah mancis logam milik Amani Sudung yang jatuh di TPK. 


Polisi mempersempit penyelidikan dan Amani Sudung dan teman-teman sekongkolnya diciduk dari gubuk tempat mereka sering berkumpul. 


Filem ini disutradarai dan diproduseri oleh Ponti Gea, skenario ditulis oleh Lajessca Hatebe &  Ponti Gea.
Para pemeran:
 

 Filem ini berdurasi masing-masing Episode 1 01:05:01 dan Episode 2 01:01:11

Detail......

Wednesday, May 30, 2012

Buku Wajib PMP

Masa-masa dulu sekolah di SMA Negeri 1 banyak romansanya (KLA lagi nih), dan bila-diingat-ingat dan dibandingkan dengan keadaan sekarang, jadi lucu (sekkel kata Natua-tua).

Misalnya, setiap mata pelajaran PMP, Ibu I Ginting (sampai sekarang saya ngga' tau I itu kepanjangannnya apa), selalu mewajibkan siswa untuk menyediakan buku pelajaran wajib PMP (keluaran DepDikBud), kalau tidak, akan dikeluarkan dan lebih konyolnya akan dihajar dulu, (duh tahe, malunya, udah seumuran kelas 3 esema, tapi tetap aja praktek dipukul di depan teman-teman masih harus diterima).

Sebenarnya bisa gampang, buku itu tersedia di Perpustakaan Sekolah yang letaknya di belakang Gedung Laboratorium Guru. Tapi tunggu dulu, tidak semudah itu, kemungkinan besar saya tidak akan kebagian, karena copy-an buku itu sangat terbatas jumlahnya dan,... yang pasti teman-teman lain sudah meminjam duluan.

Cara lain, yaitu dengan meminjam ke teman-teman yang sudah memiliki buku tersebut, tidak tahu mereka membeli sendiri atau,.. meminjam juga dari Perpustakaan.

Ada juga cara yang lebih terhormat: dengan membeli Buku itu di pasar gelap, lho koq gelap? Iya mestinya buku itu tidak diperjualbelikan, tapi pengalaman saya sesudah mahasiswa, buku sejienis bisa ditemukan di Titi Gantung, Medan.

Kalo saya biasanya meminjam buku sejenis ke teman saya (masih ingat lho), Esni Naibaho yang rumahnya di Jl. Trikora, dekat billiard. Saya tidak tahu kabar temanku itu sekarang. Ngga' yakin apa dia masih mengingat saya, atau tahu namaku.

Tapi sekilas saya coba untuk "search" pake jejaring sosial ini, dia kerja di BCA, Pekanbaru, Riau. Terus, koq matanya makin cipit aja?

"Apa kabar Esni, saya pinjam lagi Buku PMP buat mata pelajaran besok."

Setiap tiba jam Mata Pelajaran tersebut, selalu saja ada teman-teman yang terjaring, dipanggil satu-satu ke depan, di suruh keluar ruangan dan kalo Ibu I Ginting lagi mood, bakalan dapat tamparan.

Tidak tahu, apakah sekarang keadan seperti itu masih terjadi di almamaterku itu.

Sudah dulu, 20 menit waktu istirahatku sudah terpake untuk menyusun cerita memori ini.

Detail......