Tuesday, February 5, 2013

Resensi Film: Tano Parsirangan (Filem Berbahasa Batak Full)

Ketika makan mie goreng di salah satu Lapo di Jl. Bina Marga, Ceger, Jakarta Timur, secara tidak sengaja saya melihat brosur besar iklan promosi yang tertempel di dinding lapo tersebut. "Tano Parsirangan", Film Berbahasa Batak Toba dan Teks Bahasa Indonesia. Saya langsung tertarik dengan filem ini, formatnya VCD Widescreen pal Video. Filem ini terdiri dari dua episode, Episode 1 dan Episode 2. Dijual yang punya lapo Rp 20.000; per keping.






Saya jarang beli DVD atau VCD di pasaran, tapi untuk yang satu ini, tanpa pikir panjang saya langsung beli 2 episode sekaligus, jarang-jarang ada filem berBahasa Batak di pasaran. Penasaran seperti apa ceritanya dan bagaimana dialog-nya, Bahasa Batak seperti apa yang digunakan, apakah Bahasa Batak Asli atau Bahasa Batak marpasir-pasir.

Soalnya di jaman serba instant ini sangat banyak kosa kata dalam kehidupan sehari-hari yang belum bisa diterjemahkan ke Bahasa Batak Toba.

Filem ini bercerita tentang dinamika sehari-hari dalam kehidupan Halak Hita, dimana ada sebidang Tanah Warisan yang diwariskan natua-tuanya kepada dua bersaudara, Amani Uli dan Amani Sudung . Natua-tua mereka memberikan amanat bahwa tanah warisan itu tidak bisa dibagi apalagi dijual kepada orang lain, namun diatas tanah warisan ini akan dibangun Jabu Parsaktian (Rumah Tinggal Bersama).
Karena keadaan ekonomi, Amani Sudung meminta tanah warisan tersebut dibagi dan berniat menjual bagiannya. Dan karena ketidakadaan biaya ekonomi, maka kedua anaknya Sudung dan Sinta tidak bisa melanjutkan sekolah. Sudung ingin pergi merantau pergi dari kampung ini, dia tidak terlalu bergairah untuk melanjut kuliah, karena dia sadar keadaan ekonomi keluarganya tidak akan sanggup membiayai perkuliahannya dan pola hidup Amongnya yang tidak jelas. Sinta juga tidak jauh berbeda, dia merasa tidak ada kehidupan dirumah orangtuanya, dia ingin pergi dari kampung ini.

"Boan ma ahu tu Medan, Kak",katanya suatu ketika kepada Uli yang datang mengunjunginya, beberapa hari setelah ayahnya menampar wajahnya karena pasal yang tidak jelas.

Disini terjadi konflik, bahwa Amani Uli masih memegang teguh amanat Natua-tuanya bahwa tanah itu tidak boleh dijual, maka Amani Sudung berusaha dengan segala cara agar tanah tersebut bisa dijual.
Amani Sudung adalah duda yang ditinggal mati oleh Nai Sudung, yang pola hidupnya tidak teratur, tipikal temperamental, pemarah, ringan tangan kepada anak-anaknya, tidak punya pekerjaan yang jelas dan sepanjang hari hanya nongkrong di kedai tuak dan suka mabuk pun mengatur siasat untuk menggelapkan tanda tangan/persetujuan Amani Uli sebagai salah satu ahli waris. 


Tanpa disangka, Amani Uli tewas setelah ditepuk pakai kayu besar saat meninjau tanah warisan tersebut.
Polisi/intel masuk ke desa itu untuk melakukan investigasi pembunuhan Amani Uli, data-data dianalisa, orang-orang yang bersinggungan dengan korban dimintai keterangan, dan suatu hari satu barang bukti yang sangat penting untuk menyingkap kasus pembunuhan inipun ditemukan oleh Pudan beberapa jam setelah kejadian, yaitu sebuah mancis logam milik Amani Sudung yang jatuh di TPK. 


Polisi mempersempit penyelidikan dan Amani Sudung dan teman-teman sekongkolnya diciduk dari gubuk tempat mereka sering berkumpul. 


Filem ini disutradarai dan diproduseri oleh Ponti Gea, skenario ditulis oleh Lajessca Hatebe &  Ponti Gea.
Para pemeran:
 

 Filem ini berdurasi masing-masing Episode 1 01:05:01 dan Episode 2 01:01:11

2 comments:

Unknown said...

Bagak do Bah kisah ni film i. napatut do si tiruon angka pangalaho ni si Uli suang songoni sisudung, sinta. massai denggan do nasida namariboto i

Bontor said...

@Lae Tampubolon,
Berarti filem i, nunga ditonton Lae ate? Molo karakter ni si Meri?.

Post a Comment